Teuku Umar lahir di Meulaboh, ibukota Aceh Barat, pada 1854. Di wilayah terparah akibat bencana tsunami tahun 2004 itu pula Teuku Umar gugur pada 11 Februari 1899 karena serangan licik tentara Belanda yang mendadak menyerbu. Umar semasa kecilnya tidak pernah mendapatkan lingkungan pendidikan yang baik, hidupnya bebas, suka berkelahi, dan memiliki kemauan yang keras serta sukar ditundukan. Pada usia muda, ia sudah diangkat menjadi kepala kampung di daerah Daya Meulaboh. Semua temannya mengenalnya sebagai seorang pemberani. Umar juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan.
Kakek Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar. Sebelum menikahi Cut Nyak Dien, pada usia duapuluh tahun, Umar kawin dengan Nyak Sofiah, puteri hulubalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku.
Saat terjadi Perang Aceh pada 1873, Umar masih berusia sembilanbelas tahun. Kendati masih cukup belia. Umar pun ia turut dalam peperangan itu bersama pejuang-pejuang Tanah Rencong lainnya. Pada 1880, Teuku Umar melamar Cut Nyak Dien, seorang perempuan pejuang, janda salahseorang pemimpin Aceh, Ibrahim Lamnga, yang tewas di dalam suatu peperangan dengan Belanda di Gle Tarum pada 29 Juni 1878.
Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi dengan Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Dien akhirnya setuju untuk menikah dengannya. Pernikahan antara dua orang yang paling dikagumi rakyat Aceh ini menyebabkan meningkatnya moral pasukan bumi Serambi Mekah. Nantinya mereka memiliki anak yang bernama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, Dien bersama mendampingi suaminya bertempur melawan Belanda.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan fisabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan membuat hubungannya dengan pihak Belanda semakin kuat. Pada 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan “menyerahkan diri” kepada Belanda. Awalnya Umar dicap sebagai pengkhianat, tapi rupa-rupanya tindakan Umar itu adalah salahsatu taktik untuk menipu Belanda demi mendapatkan tambahan perlengkapan tempur dan mengetahui strategi perang Belanda selanjutnya.
Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komander unit pasukan Belanda dan kekuasaan penuh. Ia menyimpan rencana ini sebagai rahasia, walaupun dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh, bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dien dan memakinya. Mungkin karena malu, Dien berusaha menasehati suaminya untuk kembali melawan Belanda, namun, Umar terus saja intim dengan Belanda. Sebagai kompensasi atas kesetiaannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.
Teuku Umar mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai menjadi unit Belanda yang merupakan gerilyawan Aceh. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu terhadap Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh. Pada 30 Maret 1896, Teuku Umar pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, serta amunisi milik Belanda, dan tidak pernah kembali. 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar, berhasil digondol Umar untuk kepentinga perjuangan rakyat Aceh. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar).
Tindakan “khianat” Umar menyebabkan Belanda marah dan meluncurkan operasi besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar beserta Dien dan pasukannya. Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, juga mengejar keberadaannya. Namun, gerilyawan Aceh yang kini dilengkapi perlengkapan terbaik dari Belanda melayani tantangan kaum penjajah dan sukses mempermalukan Jenderal Van Swieten. Penggantinya, Jenderal Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan pada pertama kalinya.
Pasukan Aceh di bawah komando Umar menekan Belanda dan menduduki Banda Aceh (Kutaraja) serta Meulaboh. Sementara itu, Belanda terus-terusan mengganti jenderalnya. Pasukan gerilyawan bertambah kuat. Sejarah mengerikan bagi tentara Belanda terus terjadi. Jenderal Van der Heyden ditugaskan, murka dan melakukan pembantaian berdarah terhadap laki-laki, wanita dan anak-anak di desa-desa.
Jenderal Van Heutz, penerus Van der Heyden, melanjutkan aksi teror dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan Teuku Umar. Atas informasi yang diberikan seorang Aceh bernama Teuku Leubeh, Belanda mengetahui rencana perang pasukan Teuku Umar. Dan akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Dien meneruskan perjungan Umar, sendirian berjuang memimpin sisa-sisa pasukan Aceh di pedalaman Meulaboh bersama laskar kecilnya. Cut Nyak Dien sendiri meninggal dunia pada l6 November 1908 di tempat pembuangannya di Sumedang, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar