KOMPAS.com - Di dunia internasional, Indonesia
disanjung sebagai negara dengan kekayaan hayati terbesar setelah Brasil.
Sebutan negara megabiodiversitas pun dilekatkan. Sayangnya, tekanan
akan kebutuhan lahan dan kekayaan alam, pelan-pelan mengancam
keanekaragaman spesies flora dan fauna Nusantara.
Eksploitasi hutan, gambut, sungai, danau, dan laut secara berlebih untuk kepentingan sesaat bukan langkah bijak. Sebab, sangat terbuka kemungkinan, flora-fauna hingga mikroorganisme penghuni ekosistem itu bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia.
Sejumlah penelitian maupun informasi masyarakat tradisional menunjukkan pemanfaatan itu. Tercatat sedikitnya 7.500 jenis tumbuhan obat ada di Indonesia. Jumlah ini merupakan 10 persen dari tanaman obat di seluruh dunia.
Data Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan, dari ribuan jenis tanaman obat itu, baru 940 spesies yang diidentifikasi secara ilmiah. Sisanya belum terjamah karena minimnya dana penelitian.
Di tengah keterbatasan pengetahuan, ekosistem di daratan ataupun perairan keburu rusak karena eksploitasi berlebihan. Alasannya, memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia yang populasinya kian tak terkendali.
Hutan di Kalimantan dan Sumatera dipakai untuk penanaman kelapa sawit, digerus kekayaan mineralnya, lahan pertanian, permukiman, hingga infrastruktur. Pesisir laut disedot pasirnya untuk galian C. Badan sungai dan danau pun tak luput menjadi tempat pembuangan limbah.
Tak perlu jauh-jauh hingga ke luar pulau untuk melihat kerusakan ekosistem alam. Sedikit menengok ke sungai di tengah ibu kota Jakarta, Sungai Ciliwung, cukup memberi gambaran. Hasil kajian peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2009, spesies ikan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, dari hulu sampai hilir, mulai punah.
Penyebabnya, badan air Sungai Ciliwung yang merupakan sumber air bagi masyarakat daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tercemar berat. Dari 187 jumlah spesies ikan dan moluska/krustasea, yang tersisa hanya 15 spesies.
Sedikit ke Jawa Barat, Greenpeace Indonesia, bulan lalu merilis Sungai Citarum tercemar limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Hal itu berasal dari sekitar 500 pabrik yang berdiri di kanan-kiri sungai.
Dari jumlah itu, ditengarai hanya 20 persen yang mengolah limbah. Sisanya membuang limbah langsung ke anak sungai Citarum dan Sungai Citarum.
Kondisi di luar Jawa sama saja. Mengutip pemantauan KLH melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH) di daerah pada 53 sungai utama di Indonesia, hasilnya sangat mengejutkan, 75 persen di antaranya tercemar berat.
Semua sungai tercemar oleh bakteri E coli yang biasa terdapat di tinja. Sungai menjadi jamban raksasa yang menampung limbah domestik manusia. Padahal, sungai berperan penting sebagai sumber bahan baku air, pengendali banjir, hingga menjaga biodiversitas. Kondisi ini juga dialami sejumlah negara di dunia.
Membagi keuntungan
Bertepatan dengan Hari Keanekaragaman Hayati Dunia, 22 Mei 2013, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil tema ”Air dan Biodiversitas”. Ini diselaraskan dengan penetapan tahun 2013 sebagai International Year of Water and Cooperation.
Sekadar informasi, pada awalnya, Hari Keanekaragaman Hayati Dunia diperingati pada 29 Desember 1993, bertepatan dengan pelaksanaan COP.
Namun, sejak tahun 2000, disepakati peringatan pada 22 Mei, yakni pada hari selesainya penyusunan naskah Konvensi Biodiversitas (CBD).
Konvensi ini menjadi pijakan terbitnya Protokol Nagoya yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013. Melalui protokol ini, para pihak sepakat membagi keuntungan secara merata/adil atas pemanfaatan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional.
Indonesia sebagai negara megabiodiversitas sangat berkepentingan akan hal ini. Di luar biopiracy (pembajakan sumber daya alam) yang terjadi beberapa kali, kesepakatan internasional ini menjanjikan masa depan pemanfaatan keanekaragaman hayati tingkat renik.
Mikroorganisme ini ada di berbagai lapisan tanah, air tawar, ataupun air laut. Dari gunung hingga samudra.
Sejumlah temuan peneliti Indonesia menunjukkan, mikroorganisme ini mampu direkayasa dan dimanfaatkan untuk banyak hal, mulai dari kesehatan, pemulihan pencemaran, hingga penemuan bioenergi.
Namun, selagi kajian dan mekanisme pemanfaatan biodiversitas dibangun, perusakan dan pencemaran terus terjadi. Seakan, perilaku aktivitas ini lepas dari pengawasan bahkan jerat hukum, meski merugikan lingkungan ataupun masyarakat sekitar.
”Kalau kerusakan lingkungan terus terjadi, bisa mengancam biodiversitas kita. Perlu penegakan hukum lingkungan yang membawa efek jera,” kata Sudariyono, Deputi Penaatan Hukum Lingkungan KLH.
Langkah itu antara lain menyinergikan aparat penyidik pegawai negeri sipil di KLH dengan BLH daerah. Penindakan hukum pidana yang disertai tuntutan ganti rugi atas kerusakan lingkungan juga digarap.
Upaya lain, pencadangan dilakukan melalui Program Taman Keanekaragaman Hayati yang diluncurkan tahun 2007. Taman ini mendukung penyelamatan berbagai jenis tumbuhan lokal seperti di Provinsi Sulawesi Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Lampung, dan Sumatera Barat.
Taman Keanekaragaman Hayati menjadi ban cadangan bagi pengawetan ekosistem in situ, seperti taman nasional dan cagar alam. Semua dilakukan untuk menjaga biodiversitas tetap tersedia bagi manusia, baik itu sebagai ekowisata, penyedia jasa lingkungan, maupun pemanfaatan tumbuhan obat
Eksploitasi hutan, gambut, sungai, danau, dan laut secara berlebih untuk kepentingan sesaat bukan langkah bijak. Sebab, sangat terbuka kemungkinan, flora-fauna hingga mikroorganisme penghuni ekosistem itu bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia.
Sejumlah penelitian maupun informasi masyarakat tradisional menunjukkan pemanfaatan itu. Tercatat sedikitnya 7.500 jenis tumbuhan obat ada di Indonesia. Jumlah ini merupakan 10 persen dari tanaman obat di seluruh dunia.
Data Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan, dari ribuan jenis tanaman obat itu, baru 940 spesies yang diidentifikasi secara ilmiah. Sisanya belum terjamah karena minimnya dana penelitian.
Di tengah keterbatasan pengetahuan, ekosistem di daratan ataupun perairan keburu rusak karena eksploitasi berlebihan. Alasannya, memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia yang populasinya kian tak terkendali.
Hutan di Kalimantan dan Sumatera dipakai untuk penanaman kelapa sawit, digerus kekayaan mineralnya, lahan pertanian, permukiman, hingga infrastruktur. Pesisir laut disedot pasirnya untuk galian C. Badan sungai dan danau pun tak luput menjadi tempat pembuangan limbah.
Tak perlu jauh-jauh hingga ke luar pulau untuk melihat kerusakan ekosistem alam. Sedikit menengok ke sungai di tengah ibu kota Jakarta, Sungai Ciliwung, cukup memberi gambaran. Hasil kajian peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2009, spesies ikan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, dari hulu sampai hilir, mulai punah.
Penyebabnya, badan air Sungai Ciliwung yang merupakan sumber air bagi masyarakat daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tercemar berat. Dari 187 jumlah spesies ikan dan moluska/krustasea, yang tersisa hanya 15 spesies.
Sedikit ke Jawa Barat, Greenpeace Indonesia, bulan lalu merilis Sungai Citarum tercemar limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Hal itu berasal dari sekitar 500 pabrik yang berdiri di kanan-kiri sungai.
Dari jumlah itu, ditengarai hanya 20 persen yang mengolah limbah. Sisanya membuang limbah langsung ke anak sungai Citarum dan Sungai Citarum.
Kondisi di luar Jawa sama saja. Mengutip pemantauan KLH melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH) di daerah pada 53 sungai utama di Indonesia, hasilnya sangat mengejutkan, 75 persen di antaranya tercemar berat.
Semua sungai tercemar oleh bakteri E coli yang biasa terdapat di tinja. Sungai menjadi jamban raksasa yang menampung limbah domestik manusia. Padahal, sungai berperan penting sebagai sumber bahan baku air, pengendali banjir, hingga menjaga biodiversitas. Kondisi ini juga dialami sejumlah negara di dunia.
Membagi keuntungan
Bertepatan dengan Hari Keanekaragaman Hayati Dunia, 22 Mei 2013, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil tema ”Air dan Biodiversitas”. Ini diselaraskan dengan penetapan tahun 2013 sebagai International Year of Water and Cooperation.
Sekadar informasi, pada awalnya, Hari Keanekaragaman Hayati Dunia diperingati pada 29 Desember 1993, bertepatan dengan pelaksanaan COP.
Namun, sejak tahun 2000, disepakati peringatan pada 22 Mei, yakni pada hari selesainya penyusunan naskah Konvensi Biodiversitas (CBD).
Konvensi ini menjadi pijakan terbitnya Protokol Nagoya yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013. Melalui protokol ini, para pihak sepakat membagi keuntungan secara merata/adil atas pemanfaatan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional.
Indonesia sebagai negara megabiodiversitas sangat berkepentingan akan hal ini. Di luar biopiracy (pembajakan sumber daya alam) yang terjadi beberapa kali, kesepakatan internasional ini menjanjikan masa depan pemanfaatan keanekaragaman hayati tingkat renik.
Mikroorganisme ini ada di berbagai lapisan tanah, air tawar, ataupun air laut. Dari gunung hingga samudra.
Sejumlah temuan peneliti Indonesia menunjukkan, mikroorganisme ini mampu direkayasa dan dimanfaatkan untuk banyak hal, mulai dari kesehatan, pemulihan pencemaran, hingga penemuan bioenergi.
Namun, selagi kajian dan mekanisme pemanfaatan biodiversitas dibangun, perusakan dan pencemaran terus terjadi. Seakan, perilaku aktivitas ini lepas dari pengawasan bahkan jerat hukum, meski merugikan lingkungan ataupun masyarakat sekitar.
”Kalau kerusakan lingkungan terus terjadi, bisa mengancam biodiversitas kita. Perlu penegakan hukum lingkungan yang membawa efek jera,” kata Sudariyono, Deputi Penaatan Hukum Lingkungan KLH.
Langkah itu antara lain menyinergikan aparat penyidik pegawai negeri sipil di KLH dengan BLH daerah. Penindakan hukum pidana yang disertai tuntutan ganti rugi atas kerusakan lingkungan juga digarap.
Upaya lain, pencadangan dilakukan melalui Program Taman Keanekaragaman Hayati yang diluncurkan tahun 2007. Taman ini mendukung penyelamatan berbagai jenis tumbuhan lokal seperti di Provinsi Sulawesi Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Lampung, dan Sumatera Barat.
Taman Keanekaragaman Hayati menjadi ban cadangan bagi pengawetan ekosistem in situ, seperti taman nasional dan cagar alam. Semua dilakukan untuk menjaga biodiversitas tetap tersedia bagi manusia, baik itu sebagai ekowisata, penyedia jasa lingkungan, maupun pemanfaatan tumbuhan obat
- Penulis : Yunanto Wiji Utomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar